Habibie vs Wilders, Awal atau Akhir?

Posted by Diposting oleh alvian On 6:35:00 PM


Den Haag - Penundaan kunjungan kenegaraan Presiden SBY ke Belanda karena sesuatu yang dapat mencederai kehormatan dan harga diri bangsa, serta gesekan diplomatik Dubes Habibie vs Wilders bisa menjadi tengara hubungan kedua negara ke depan. Kedua pihak bakal lebih ekstra hati-hati.

Hubungan bilateral RI-Belanda belakangan ini seperti terpantau dari media kedua negara, memang dinilai sangat baik. Dubes Habibie bahkan dianugerahi sebagai The Best Ambassador 2009 di antara 144 perwakilan asing di Negeri Belanda. Kunjungan kenegaraan Presiden RI itu sejatinya telah disiapkan sebagai cherry on the top, penyempurna atas apa yang sudah hampir sempurna. Namun hasil pemilu 9 Juni 2010 silam, nampaknya harus menggeser segalanya. Asumsi-asumsi sebelumnya juga nampaknya harus ditinjau ulang.

Munculnya Wilders (Partai PVV) sebagai runner-up pemilu dan kini menjadi mitra pasif koalisi minderheidskabinet CDA dan VVD (kabinet kurang dari kuorum, tapi bisa dibentuk atas dukungan pasif dari PVV), patut mendapat catatan kritis dan hati-hati dari para pengambil kebijakan di Den Haag dan Jakarta. Dengan jumlah kursi gabungan cuma 52 dari total 150 kursi, CDA dan VVD sepakat menerima dukungan pasif dari PVV (24 kursi), dengan imbalan berkompromi mengadopsi program-program PVV yang cenderung ekstrim dan anti-islam.

Wilders secara eksplisit mengklasifikasikan Indonesia sebagai negara Islam, oleh karena itu tak seorangpun penduduknya boleh masuk ke Negeri Belanda. Hal ini mengundang tanggapan Dubes Habibie saat wawancara dengan Het Financiele Dagblad (FD). "Jika orang Indonesia tidak boleh ke Negeri Belanda karena Indonesia dianggap negara Islam, maka kita akan mendapat masalah," ucap Habibie, seraya menekankan bahwa bangsa Indonesia sangat plural.

Pandangan politik Wilders (PVV) sendiri sebenarnya kurang mewakili mayoritas rakyat Belanda, namun untuk saat ini memang cukup signifikan dengan perolehan 24 kursi (runner-up) dari 150 kursi. Ekstrimitas Wilders juga mendapat perlawanan keras dari partai-partai besar oposisi: Job Cohen (Partai Buruh), Alexander Pechtold (D66), Emile Roemer (SP), Femke Halsema (Groenlinks) bahkan oleh Mark Rutte (VVD) dan Maxime Verhagen (CDA).

Selain itu karena Wilders tidak mendudukkan orangnya dalam kabinet, maka kebijakan pemerintah Belanda bagaimanapun juga tetap ada di tangan dua partai berkoalisi, yakni CDA dan VVD. Sejauh mana kedua partai itu bisa mengelola kompromi dengan Wilders, sejauh itu pula hubungan bilateral RI-Belanda akan terdampak.

Habibie saat dihubungi detikcom, Minggu (10/10/2010), menyusul perkembangan akhir-akhir ini yang mulai cukup liar, mengatakan bahwa pihak Belanda menginginkan hubungan baik dengan Indonesia tetap terus berlanjut dan tidak ada yang menghendaki hubungan itu terganggu.

"Keputusan presiden untuk menunda kunjungan kenegaraan ke Negeri Belanda juga tidak akan mempengaruhi hubungan bilateral kedua negara," tandas Habibie.

Dubes yang di kalangan akrab biasa disapa Fanny ini menjelaskan bahwa beberapa hari terakhir pihaknya bersama jajaran nyaris tidak sempat istirahat. Mereka harus melayani pers dan melakukan pembicaraan dengan berbagai pihak terkait di Belanda, terutama dengan Kemlu dan kantor Perdana Menteri, untuk benar-benar menjamin tidak ada keliru pengertian atas perkembangan yang terjadi.

Habibie mengungkapkan bahwa dia telah bertemu dengan penasehat senior PM Balkenende di kantor perdana menteri, didampingi pejabat senior Kemlu pada Kamis (7/10/2010) kemarin. "Pada dasarnya semangat dan garis kebijakan yang telah berjalan selama ini akan diteruskan, juga oleh pemerintahan baru," pungkas Habibie.