Memperbincangkan Gaya Hidup dalam Perspektif Anthony Giddens

Posted by Diposting oleh alvian On 4:42:00 PM

Seorang model Inggris, Yasmin Le Bon tengah berpose di depan salah satu simbol citra gaya hidup mewah: mobil ferrari. (foto: reuter)
SEBERAPA pentingkah gaya hidup menurut kacamata pecinta busana atau dalam hal lain? Tentu pertanyaan ini akan dekat sekali dengan, seberapa penting nilai-nilai tren dalam kehidupan dan urat nadi seorang penggemar mode atau penggemar tentang sesuatu? Menurut Giddens, perkembangan gaya hidup dan perubahan struktural modernitas saling terhubung melalui reflektifitas institusional; karena keterbukaan kehidupan sosial masa kini, pluralisasi konteks tindakan dan aneka ragam otoritas, pilihan gaya hidup semakin penting dalam penyusunan identitas diri dan aktifitas keseharian. Ia juga mengingatkan, bahwa gagasan gaya hidup telah dikorupsi oleh konsumerisme, meskipun pasar, terutama ketika telah menjadi tema ideologis dalam politik neoliberal, sepertinya menawarkan kebebasan memilih, dan dengan demikian bermaksud mempromosikan individualisme. Giddens juga menyatakan bahwa komodifikasi kedirian melalui genre-genre narasi media, begitu pula strategi pemasaran menekankan gaya pada biaya investasi makna personal. (1)

Untuk menjelaskan pandangan Giddens ini, dan dikaitkan dengan gaya hidup yang ada dan menjamur di Indonesia ini, maka kita harus membuka cakrawala cara berpikir, agar tidak terbentur pada pola pikir yang tidak dengan sertamerta berbicara konteks Timur dan Barat. Tentu, kita harus memahami pikiran Giddens sebagai upaya mengurai benang kusut tentang bergaya dan gaya hidup non-pribumi yang cukup banyak berkembang pada tantanan hidup bangsa ini.

Pada The New Oxford Thesaurus of English mengatakan pemahaman gaya (2) adalah fashion, style, mode. Pemahaman tersebut, membawa pemaknaan yang terkait dengan hal-hal busana (fashion, style, dan mode), tetapi sebetulnya pemaknaan tersebut menjadi satu kesatuan utuh. Ketika berbicara mengenai gaya busana, maka tentu berbicara mengenai style dan terkait dengan mode. Mode disebut sebagai cara, (3) style disebut sebagai corak mode dan gaya. (4) Mode (5) dikatakan sebagai vogue, current/latest style, look, trend, latest thing, latest taste; craze, rage, fad, general tendency, convention, custom, practice. (6) Roland Barthes, memahami mode ini sebagai sebuah objek otonom, dengan struktur aslinya sendiri, dan mungkin dengan finalitas baru; fungsi-fungsi lain disubstitusikan bagi atau ditambahkan pada fungsi-fungsi sosial adalah analog dengan apa yang ditemukan dalam semua sastra dan dapat disimpulkan dengan mengatakan bahwa melalui bahasa yang dengan demikian mengambil peranan darinya, mode menjadi naratif. Pemahaman-pemahaman ini jika diterapkan pada gaya busana, maka akan mengarah pada aspek bentuk, desain, ornamentasi, dan materialnya, yang mencakupi ekspresi pencipta, dengan beragam komunikasi.

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengatakan gaya sebagai ragam (cara rupa, bentuk, dan sebagainya) yang khusus (mengenai tulisan, karangan, pemakaian bahasa, bangunan rumah, dsb). (7) Bergaya dapat dikatakan sebagai bertingkah dengan tidak sewajarnya (dibuat-buat). (8)

Pentingkah bergaya dan gaya hidup?

Giddens tentu tidak serta merta merumuskan, bahwa gaya hidup semakin penting dalam penyusunan identitas diri dan aktifitas keseharian. Kenapa ini menjadi penting? Dasar pemikiran ini ingin mengklaim bahwa bergaya merupakan kebutuhan pokok, sama posisinya akan kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Giddens ingin menunjukkan gaya hidup ini tidak lagi masuk pada wilayah kelompok tertentu saja, tapi hampir semua lini kehidupan. Faham ideologis gaya hidup telah menggantikan nilai-nilai kultural, yang tadinya hanya untuk pemenuhan kebutuhan hidup, menjadi gaya, menjadi bagian keseharian yang menjadi tanda, bahwa pecinta gaya ini ada serta menandai identitas kelompok pecinta gaya yang muncul sebagai akibat dukungan media dan terbentuk atas dasar dibuat-buat ada.

Dalam pandangan Giddens yang menyatakan gagasan gaya hidup telah dikorupsi oleh konsumerisme, menunjukkan kebutuhan tentang gaya ini menjadi tidak wajar dan dibuat-buat. Istilah konsumerisme berasal dari kata consumption yang berarti konsumsi dan pemakaian. Konsumerisme pada Bahasa Latin: consumere atau consumo, sumpsi, sumptum, yang berarti menghabiskan, memakai sampai habis, memboroskan, menghambur-hamburkan, menggerogoti sampai habis. Menurut James F. Engel, bahwa konsumerisme memiliki dua pemaknaan, pertama, dilihat sebagai gerakan atau kebijakan untuk melindungi konsumen dengan menata metode dan standar kerja produsen, penjual dan pengiklan; kedua, paham atau gaya hidup yang menganggap barang-barang mewah sebagai ukuran kebahagiaan, kesenangan, dan sebagainya. (9) Pada opsi ini, konsumerisme termaknai sebagai gaya hidup yang boros dan bergaya hidup pada peningkatan pembelian barang-barang yang secara teori bukan kebutuhan pokok. Ia adalah mentalitas yang terbentuk oleh kondisi dan kebijakan sosial yang menyenangkan, sekaligus juga menyengsarakan.

Pada Encyclopedia Britanica membahas, bahwa konsumerisme sebagai gerakan atau kebijaksanaan yang diarahkan untuk menata metode dan standar kerja produsen, penjual, dan pengiklan untuk kepentingan pihak konsumen. Arah pernyataan ini sebetulnya adalah untuk melegitimasi kepentingan produsen, penjual, dan pengiklan atas konsumen, untuk membudayakan konsumen menjadi pemakai tetap. Peran ketiga pelegitimasi tersebut menjadi sangat lengkap, manakala bombardir iklan kepada konsumen diperketat. Konsumtivisme yang dimaknai sebuah pola hidup konsumtif berlebihan, lebih dekat pada wilayah negatif pada tatanan bukan kebutuhan pokok, tapi dekat dengan positif pada wilayah bergaya. Penyebab utama faham konsumerisme muncul karena adanya hasrat dan keinginan manusia. Sebetulnya, keinginan dan kebutuhan itu wajar, tapi ketika tidak terkendali dan terlalu berlebihan akan berakibat buruk.

Giddens berpadangan, bahwa budaya konsumen tersebut berperan terhadap pemahaman refleksi tentang identitas, sejauh memberi banyak sumber yang digunakan individu untuk menggayakan identitas pribadi dan politis mereka sendiri. Budaya konsumen ini ditandai dengan keberadaannya, membawa pola pikir yang berkembang skeptis dan terbatas, serta untuk politisasi kepentingan pribadi atas dasar bentukan kelompok tertentu. Istilah gaul, bergaul, atau gak gaul, menjadi tanda akan diterimanya mereka pada komunitas sosial atau komunitas penggaya. Ini betul-betul menyesatkan. Atas landasan modernitas, lantas konsumerisme semakin menjadi-jadi. Ideologinya beragam, dan memiliki kecenderungan merusak. Batasan modern, modernitas, dan nilai kemodernan seolah menjadi rumusan penting untuk bergaya. Klaim Giddens, modernitas terbentuk berdasarkan empat institusi dasar yaitu kapitalisme, industrialisme, kapasitas pengawasan, dan kontrol atas sarana kekerasan. (10) Empat institusi ini juga melekat pada nilai-nilai konsumerisme.

Giddens, Beck, dan Lash menunjukkan, bahwa estetisasi kehidupan sehari-hari adalah bagian dari budaya konsumen yang dapat dinilai menjadi bagian penting dari dunia lain, sebagai peningkatan lingkungan materi, agar secara simultan membekukan sekaligus menyenangkan indra. (11) Dalam pandangan penulis, estetisasi inilah yang kemudian menjadi nilai dominan dalam setiap nafas kehidupan manusia, apalagi ketika masuk pada wilayah untuk bergaya, maka wajib bagi mereka untuk menggunakan hukum estetisasi ini. Secara sederhana estetisasi ini dimaksudkan untuk berbicara keindahan, lebih jauh lagi berbicara tatanan ideologis dan pemahaman mengenai bagaimana cara membuat serta menampilkan sesuatu dengan beragam rupa. Estetisasi ini secara mutlak menunjuk pada situasi terbentuknya budaya untuk bergaya-gaya dalam tatanan kehidupan sosial saat ini. Mulai gaya busana, mobil, motor, rumah, gaya makan, makanan yang bergaya, bahkan sampai di ranah gaya hidup yang dibuat-buat, hanya untuk memenuhi hasrat dan keinginan yang terlalu berlebihan.

Kenapa harus bergaya?

Giddens, bagaimana gaya hidup (lifestyles) menata sesuatu menjadi suatu kesatuan, menjadi sebuah pola yang kurang-lebih punya keteraturan. Bagi Giddens identitas diri adalah suatu proyek yang diwujudkan, yang dipahami oleh para individu dengan cara-cara pendirian mereka sendiri, dan cara-cara menceritakan, mengenai identitas personal dan biografi mereka. (12) Kedua pemikiran Giddens ini arahnya adalah berbicara mengenai image dan pencitraan, kalau bahasanya Yasraf A. Pilliang, Giddens sedang berbicara imagologi. (13) Thomas W. J. Mitchel dalam Pilliang, membedakan beberapa kelas citra, yaitu: citra grafis, citra optikal, citra perseptual, citra mental, dan citra verbal. (14) Dalam kesempatan ini akan dibahas mengenai citra perseptual, yang dimaknai sebagai penampakan visual sebuah objek, sebagaimana ia hadir didalam pikiran seseorang, berupa sense datum. Kata sense datum inilah yang akan memperjelas tentang pencitraan ini. Kata ini berkenaan dengan ilmu dan istilah filsafat, berarti sensasi puas yang dirasakan, bersumber dari beberapa informasi luar. Ini berarti citra adalah menyangkut bagaimana seseorang merasa puas, bangga, atau pun senang, pada saat keberadaan dirinya diakui oleh orang lain disekitarnya. Karena inti dari citra diri adalah bagaimana dampak perlakuan dan pengakuan yang diterima oleh seseorang, sebagai akibat dan proses bergaya tertentu.

Sense datum ini juga dekat dengan faham representationalism, berupa doktrin, bahwa dalam persepsi benda apa yang ada sebelum pikiran bukanlah objek tetapi representasi. Representasi ini menjadi penting, manakala hal identitas dipertautkan dengan pencitraan diri, masing-masing saling berkepentingan dan bertujuan untuk mencapai sense datum. Citra persepsual terkait dalam sensation and perseption, yang mengacu pada mekanisme yang menjadi alat untuk menyadari dan memproses informasi tentang dunia luar. (15) Aristoles mengklasifikasikan panca indra menjadi lima kategori, yaitu: penglihatan (vision), pendengaran (audition), penciuman (olfaction), perasa (gustation), dan perabaan. (16) Dengan panca indra tersebutlah pencitraan diri semakin lengkap. Citra persepstual ini menghadirkan rasa senang, sedih, bahagia, gembira, dan berbagai rasa psikologis, untuk membentuk pola pikir pecinta gaya untuk tetap eksis dalam komunitas mereka. Citra perseptual, dalam pandangan Giddens, memiliki pola keteraturan, berkala, dan berkesinambungan. Karena tren semacam mode busana, gaya pakaian, sepatu, bahkan cara berbusana pun, senantiasa akan berotasi secara teratur. Evolusi citra tersebut akan berulang dan berulang.

Giddens dan Identitas Diri

Menurut Giddens, identitas diri tidak diwariskan atau statis, melainkan menjadi suatu proyek refleksif, yang menjadi sebuah nilai dari kehidupan seseorang. Dipertegas juga, bahwa identitas seseorang tidak dapat ditemukan dalam perilaku, maupun dalam reaksi orang lain, tetapi pada kemampuan untuk menjaga akan narasi tertentu. (17) Pada wilayah ini, berbicara identitas diri semakin masuk pada wilayah ideologis tertentu, yang melandasi kenapa seseorang harus bergaya. Gaya hidup yang muncul pada masa kini merupakan cerminan dan wajah kultural dari elemen kultural yang ada, sehingga identitas diri tersebut sudah masuk pada identitas kelompok, bahkan menjadi identitas kultural dalam wacana nasional. Istilah modernitas yang dibicarakan Giddens sebelumnya, menunjuk langsung keegoan si pecinta gaya hidup, atas dasar nilai-nilai kekinian.

Giddens juga berpendapat, bahwa pada tahap awalnya proses modernisasi ini berlangsung di dunia Barat, tetapi dengan berkembangnya beberapa negara, khususnya dunia bagian Timur, sehingga perubahan makin cepat terjadi dalam masyarakat modern, yang menunjukkan terjadi persenyawaan dari nilai-nilai yang berkembang di dunia Barat dengan bagian dunia Timur. Giddens ini menyatakan bahwa nilai-nilai kebarat-baratan, khususnya yang ada di wilayah Eropa Barat, telah berkembang dan menjadi identitas kultural bangsa Timur. Berarti, gaya hidup semacam gaya berbusana, gaya hidup free sex, gaya busana, tren-tren tentang sesuatu, bukan nilai asli yang ada di Indonesia. Ini adalah adobsi dan hasil pemaksaan budaya yang disenangi oleh orang-orang pribumi.

Untuk mengurai masalah identitas diri dan identitas kultural ini, Giddens telah membantu dengan mencetuskan teori strukturasi. (18) Teori ini memiliki tiga dimesi pokok bahasan, yaitu: adanya pemahaman (interpretation) yang menyatakan cara seseorang memahami sesuatu; pembentukan moralitas yang menyatakan cara bagaimana seharusnya sesuatu itu dilakukan; terdapat kekuasaan dalam bertindak, bagaimana cara mencapai suatu keinginan. Teori strukturasi ini mampu menjelaskan bagian struktur-struktur sosial yang terbentuk pada wacana gaya hidup, interpretasi yang didapati dan dimiliki seseorang pecinta gaya hidup, dikonstruksi atas dasar keinginan-keinginan dalam memuaskan hasrat untuk bergaya. Interpretasi ini juga masuk pada ranah dalam penentuan tentang gaya yang akan diikuti dan dianut, pertimbangan yang dominan dan logis adalah bagaimana agar seseorang tersebut dianggap ada pada lingkungan sosial tertentu. Selanjutnya, pembentukan moral-moral atau cara, bagaimana pemahaman tersebut dilaksanakan. Pada proses akhir, ego tentang gaya hidup sudah dilaksanakan dengan sempurna. Kekuasaan atas keinginan-keinginan dalam wilayah egosentris, mengelompok, dominan, pada akhirnya membentuk identitas budaya nasional.

Pada akhir perbincangan ini, Giddens mengklaim, bahwa kehidupan sistem sosial tidak mempunyai kebutuhan apapun, yang memiliki kebutuhan hanyalah manusia sebagai pelaku sosial tersebut. (19) Tentu saja, keputusan-keputusan untuk bergaya tetap dikembalikan pada manusia, sebagai pelaku budaya dan bagian dari sistem sosial yang terbentuk. Image negatif dan positif tentang gaya hidup sesuatu, merupakan konsekuensi masing-masing yang harus diterima oleh orang-orang yang bergaya, yang muncul atas setuju atau ketidaksetujuan mengenai hal tersebut. Batasan moral dan etika ketimuran atau kebarat-baratan, merupakan perdebatan yang tidak akan pernah selesai dan akan terus berlangsung, selama masih ditemukan sesuatu yang dianggap sebagai pertentangan kode etik sosial dan budaya. Jadi, Anthony Giddens telah menawarkan pandangan-pandangannya mengenai gaya hidup, bagaimana menurut anda?