Gaji dan Reformasi Birokrasi

Posted by Diposting oleh alvian On 9:02:00 PM

PADA dataran normatif dan diukur secara komparatif, gaji pegawai negeri dan petinggi negara di Indonesia sebenarnya jauh lebih rendah dibandingkan di negara lain dengan tingkat kemajuan yang sebanding.

Berkali-kali pula kita memahami bahwa faktor kesejahteraan pegawai atau petinggi negara merupakan hal mendesak untuk dibenahi. Namun, yang menarik, setiap kali ada wacana untuk menaikkan gaji, khususnya yang menyangkut petinggi negara, segera muncul pro-kontra yang seru. Dari pemberitaan yang muncul, kita mendapat informasi bahwa selama ini gaji presiden dan wakil presiden ternyata lebih rendah dibandingkan gaji Gubernur Bank Indonesia atau direktur utama bankbankbesar.

Gajimenterijugajauhdi bawah gaji para eksekutif teras di perusahaan-perusahaan besar.Keadaan seperti ini terus kita biarkan karena ada pemahaman bahwa meski gaji pejabat tinggi tidak besar, penghasilan riil yang mereka peroleh sudah sangat memadai. Dalam tatanan birokrasi dengan tata kelola (governance) yang kurang baik,memangmuncul kecenderungan perbedaan yang mencolok antara gaji dan penghasilan.

Pokok-pokok kegiatan yang seharusnya menjadi tugas utama birokrat, yang dalam analisisjabatan disebut sebagai beban kerja,justru dipenggal-penggal dan setiap penggalan kegiatan mendapat kompensasi terpisah dari gaji yang dibayarkan. Dari sini muncul perbedaan antara gaji dengan penghasilan resmi yang diterima (takehome pay).

Di samping penghasilan resmi, para pejabat birokrasi biasanya juga memperoleh penghasilan yang sifatnya tidak resmi. Penghasilan seperti ini timbul sebagai konsekuensi dari kewenangan yang melekat pada jabatan yang diembannya. Jadi secara total penghasilan riil yang diterima petinggi negara sangat besar.

Itu sebabnya jabatanjabatan strategis dalam birokrasi selalu menjadi lahan perebutan di kalangan para birokrat. Kita jadi bingung karena kondisi yang dilematis.Di satu sisi kita menyadari,salah satu upaya untuk membenahi birokrasi kita adalah dengan menaikkan gaji secara berarti.

Angka kenaikan yang berarti bahkan mencapai ratusan persen. Bahkan bila perlu gaji tersebut sudah memperhitungkan standar hidup yang mewah atau berlimpah. Namun pada sisi lain kita tahu, tanpa dinaikkan pun penghasilan riil para pejabat tersebut sudah sangat tinggi.

Di negara dengan tata kelola yang sudah baik,sistem pemberian imbalan (remunerasi) yang berlaku bekerja atas dasar prinsip stick and carrot.Pejabat mendapat gaji (carrot) yang tinggi, bila perlu sangat tinggi. Tetapi setiap penyimpangan atau penyalahgunaan kewenangan yang terjadi akan diberi penalti (stick) yang sangat berat.

Gaji tinggi diberikan agar para pejabat tidak tertarik atau tidak memiliki insentif untuk menjadikan pos-pos birokrasi sebagai jaringan unit maksimalisasi keuntungan pribadi atau kelompoknya. Dengan demikian,rencana kenaikan gaji harus ditempatkan dalam desain menyeluruh reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi harus dimulai dengan audit menyeluruh terhadap struktur kelembagaan negara.

Struktur yang gemuk dan lamban harus dirampingkan, fungsifungsi yang tumpang tindih harus diluruskan. Jargon reformasi birokrasi adalah ?ramping struktur kaya fungsi?. Setelah strukturnya ramping, parameter kinerja (key performance indicators) harus ditentukan agar apa yang dikerjakan bisa diukur. Orang tak bisa mengelola dengan baik untuk hal-hal yang tidak terukur, demikian pernyataan terkenal Robert Kaplan dan David Norton (1994).

Osborne dan Gaebler (1992) menilai, perbaikan sistem insentif dalam birokrasi harus ditempatkan dalam konteks reinventing government agar birokrasi dapat bergerak cepat, melayani,kompetitif,menekankan hasil, digerakkan oleh misi dan tujuan yang jelas. Perbedaan kinerja harus diikuti oleh perbedaan besaran kompensasi.

Kalau mereka yangbekerjakerasmendapatimbalan yang sama dengan yang tidak bekerja keras,mengapa kita harus bekerja keras? Percontohan reformasi birokrasi yang dijalankan Departemen Keuangan, yang dimulai sejak Juli 2007, yang meliputi program penataan organisasi, program peningkatan sumber daya manusia, program penyempurnaan tata laksana (business process) dan program perbaikan struktur remunerasi harus dievaluasi hasilhasilnya.

Apakah kenaikan tunjangan yang cukup tinggi bagi para pejabat setingkat dirjen dan pejabat eselon satu yang dilakukan berhasil memperbaiki kualitas pelayanan kepada masyarakat? Apakah tingkat kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi yang telah direformasi mengalami peningkatan?

Kita pernah terperangah mendengar pernyataan Taufiq Effendi - saat itu Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara - bahwa 55 persen pegawai negeri sipil yang mencapai sekitar 3,6 juta orang berkinerja buruk (11/1/07). Kita juga prihatin karena banyak daerah berlomba memperbesar jumlah pegawai tanpa tujuan jelas kecuali hanya untuk mendapatkan dana alokasi umum (DAU) lebih besar.

Kembali kepada pro-kontra kenaikan gaji pejabat negara, fokus perdebatan seyogianya tidak pada besaran angka kenaikan,tetapi pada ada tidaknya konsep yang jelas dan menyeluruh dari reformasi birokrasi yang akan dijalankan. Selama ini ada kesan reformasi dilakukan setengah hati sehingga yang terjadi justru pembengkakan birokrasi. Masalah birokrasi dipecahkan dengan menambah mata rantai birokrasi baru.

Di tengah belantara birokrasi yang demikian, di tengah persepsi kuat bahwa birokrasi pemerintah identik dengan ekonomi biaya tinggi, kenaikan gaji tanpa reformasi kinerja birokrasi hanya mengundang kekhawatiran baru karena akan dinilai berujung pada beban pajak masyarakat yang meningkat.